Tuesday, September 15, 2015

Cinta sisa (leftover love)

 Cinta sisa 
(Sebuah renungan perumpamaan)



Saya belum menikah, namun saya mencoba membayangkan kehidupan suami istri yang penuh dengan kesibukan. 
Dari sebelum matahari terbit, sang istri sudah bangun dan berusaha menyelesaikan semua tugas rumah tangga. Setelah bersiap diri, iapun membangunkan sang suami dan anak anak, membantu mereka untuk lekas siap pergi ke sekolah dan kantor. 
Seharian penuh kegiatan istri berlalu lalang menjalankan semua yang diperlukan rumah tangga, ke pasar swalayan, membayar biaya keperluan, sampai tibanya dirumah ia membersihkan rumah dan mempersiapkan makanan untuk anak dan suami. 

Rumah yang tadinya sunyi akhirnya penuh dengan suara karena anak anak tlah pulang dari sekolah.
menjelang malam sang ibu mempersiapkan makanan mereka dan menemani mereka santap malam.


Tiba waktunya mereka untuk beristirahat, Sang ibu menuntun mereka dalam doa malam, menarik selimut mereka dan mematikan lampu. 


Sekarang rumah itupun kembali sepi, namun tidak sesepi hati sang istri.
Ia teringat masa masa mereka berpacaran, sang pacar tercinta menebar bunga indah diladang hatinya, mereka melihat awan dan menerka bentuk, hingga tertawa bahagia.  cinta tersirat dari tatapan penuh kasih, mereka berjanji tidak akan melepaskan cinta hingga akhir masa.
Dunia begitu indah, kata manis terucap, mengukir lambang cinta dihati dua sejoli.. hingga akhirnya di gereja tua ditemani suara burung pipit bernyanyi, lonceng gereja berkumandang, tawa orang orang yang mereka kasihi serta  iringan melodi indah meramaikan perayaan pernikahan mereka. 

memasuki rumah baru mereka, tempat dimana suka dan duka mereka akan ditampung, mereka berjanji untuk setia dan terus menyalakan khotbah api cinta sampai tua nanti.
berlahan dunia mereka mulai berubah, kesibukan pekerjaan, bertambahnya anggota keluarga, banyaknya keperluan membuat mereka lupa kalau tungku perapian cinta mereka telah padam disiram oleh rutinitas. 

Sang istri duduk terdiam, menatap keluar, kegelapan malam, menunggu lampu kendaraan menyilaukan pandangannya, dan berharap ada cahaya yang dapat menyinari kegelapan dan kekosongan hatinya. 

beberapa jam sebelum pagi, sang suamipun pulang dan menemukan istrinya tertidur di sofa ruang tamu. Ada belas kasihan, namun ia merasa letih dan mengantuk  dan Ia merasa tak sanggup untuk mengangkat tubuh sang istri yang tidak selangsing dulu.

Dibangunkannya sang istri, dan setelah sang istri terbangun, ia berjalan menuju kamar mereka dan berganti baju tidur, memasuki selimut, dan tidur memeluk guling. 


Keesokan harinya, dan hari hari berikutnya kejadian dirumah tersebut hampir sama, sang istri mencoba bertahan namun entah sampai kapan. 


 - Untuk sementara kisah ini berakhir - 


Renungan saya pada malam hari ini, disaat jari saya menari merangkai kata, saya mencoba membayangkan bagaimana kesepiannya sebuah pernikahan yang tidak dijaga keharmonisannya. 
Pasangan kita bukanlah keset yang bisa diijak untuk menghapus kesal, atau seseorang yang dianggap robot yang tidak perlu belaian kasih sayang karena toh cincin pernikahan dan rumah ini adalah symbol cinta. benda maupun status bukanlah bayaran dalam cinta pernikahan, melainkan sebagai symbol untuk mengingatkan untuk selalu berkomitmen menjaga dan merawat agar cinta awet sepanjang masa.  Kepedihan sang istri dapat dimengerti dan dikasihani. 

Mungkin ini terkesan hanya sebuah teori dari khayalan pernikahan sedih dari seorang lajang, namun saya mencoba memikirkan apa yang dapat kita pelajari agar tidak pernah terjadi. 


Pikiran dangkal saya mencoba mencerna apa yang bisa saya petik dari tulisan saya diatas.

Bayangkan setiap hari kita yang penuh kesibukan, kita memulai hari dengan ucapan doa yang sangat sebentar, seharian lamanya kita sibuk, dan pas malam tiba, kita hendak tidur dan bila teringat kita menghanturkan doa ala kadarnya karena mata tlah berat. 

Tidak ada rasa syukur atas perlindungan Tuhan, berkat yang berlimpah, karunia yang menyinari hidup kita. Tidak ada keinginan untuk mempunyai keakraban seperti dulu kala. 

Kita lupa memberikan yang terbaik bagi yang berhak menerimanya. 

Melalui renungan ini saya berkeinginan memberikan yang terbaik  kepada Tuhan dalam segala hal, bukan  dari sisa waktu di keletihan melainkan memberikan waktu sebagai ucapan cinta.

beri cinta utuh, bukan cinta tersisa. 


Biarlah hati kita dilembutkan dan komitmen kita menyala nyala agar dapat menjaga api cinta tetap berkobar selamanya. 




salam kasih, 

Tracy 



Friday, April 03, 2015

Good Friday


 




Long ago,  I didn't realise how much God so loved the world that He gave His one and only Son, Lord Jesus, the only sinless person who ever walked on earth and lived among the people and taught us heavenly lifestyle. 

One day, in the AD 33, He had to suffer on the cross, what people thought a personal punishment for something He didn't do, instead He was paying for all our sins, He is the ultimate sacrificial lamb for every sin so we can be righteous like The Son. 
The worst and the best trade ever, we give our worst to Him, all of our sins, while He gave His best to us, His righteousness. 
So that whoever believes in Him shall not perish but have eternal life.
I asked this question years ago as a sceptic "how is it possible of what Jesus has done on the cross centuries ago still relevant for me today?"  
My friend replied "Jesus blood is sufficient for the whole world, and it will be effective when you believe in Him, so Jesus blood will never go in vain."
 I denied Him for many years, when I lived in the darkness of my sin, then I realised I need help, right there Lord Jesus come and saved me, I accepted His sacrifice, I call Him my Saviour and  the spring of life came to my heart and life is better when you are redeemed. 

So to thank Thee, I come back and follow You Lord Jesus... For You have changed my darkness to light, and welcome me as a friend. 
Send me everywhere, let me proclaim this truth, I shall not be afraid because You are the only remedy to this sick world. 
Thank you for what You have done on the cross. 

sinner to saint by Your grace,
Tracy Trinita