(Sebuah renungan perumpamaan)
Saya belum menikah, namun saya mencoba membayangkan kehidupan suami istri yang penuh dengan kesibukan.
Dari sebelum matahari terbit, sang istri sudah bangun dan berusaha menyelesaikan semua tugas rumah tangga. Setelah bersiap diri, iapun membangunkan sang suami dan anak anak, membantu mereka untuk lekas siap pergi ke sekolah dan kantor.
Seharian penuh kegiatan istri berlalu lalang menjalankan semua yang diperlukan rumah tangga, ke pasar swalayan, membayar biaya keperluan, sampai tibanya dirumah ia membersihkan rumah dan mempersiapkan makanan untuk anak dan suami.
Rumah yang tadinya sunyi akhirnya penuh dengan suara karena anak anak tlah pulang dari sekolah.
menjelang malam sang ibu mempersiapkan makanan mereka dan menemani mereka santap malam.
Tiba waktunya mereka untuk beristirahat, Sang ibu menuntun mereka dalam doa malam, menarik selimut mereka dan mematikan lampu.
Sekarang rumah itupun kembali sepi, namun tidak sesepi hati sang istri.
Ia teringat masa masa mereka berpacaran, sang pacar tercinta menebar bunga indah diladang hatinya, mereka melihat awan dan menerka bentuk, hingga tertawa bahagia. cinta tersirat dari tatapan penuh kasih, mereka berjanji tidak akan melepaskan cinta hingga akhir masa.
Dunia begitu indah, kata manis terucap, mengukir lambang cinta dihati dua sejoli.. hingga akhirnya di gereja tua ditemani suara burung pipit bernyanyi, lonceng gereja berkumandang, tawa orang orang yang mereka kasihi serta iringan melodi indah meramaikan perayaan pernikahan mereka.
memasuki rumah baru mereka, tempat dimana suka dan duka mereka akan ditampung, mereka berjanji untuk setia dan terus menyalakan khotbah api cinta sampai tua nanti.
berlahan dunia mereka mulai berubah, kesibukan pekerjaan, bertambahnya anggota keluarga, banyaknya keperluan membuat mereka lupa kalau tungku perapian cinta mereka telah padam disiram oleh rutinitas.
Sang istri duduk terdiam, menatap keluar, kegelapan malam, menunggu lampu kendaraan menyilaukan pandangannya, dan berharap ada cahaya yang dapat menyinari kegelapan dan kekosongan hatinya.
beberapa jam sebelum pagi, sang suamipun pulang dan menemukan istrinya tertidur di sofa ruang tamu. Ada belas kasihan, namun ia merasa letih dan mengantuk dan Ia merasa tak sanggup untuk mengangkat tubuh sang istri yang tidak selangsing dulu.
Dibangunkannya sang istri, dan setelah sang istri terbangun, ia berjalan menuju kamar mereka dan berganti baju tidur, memasuki selimut, dan tidur memeluk guling.
Keesokan harinya, dan hari hari berikutnya kejadian dirumah tersebut hampir sama, sang istri mencoba bertahan namun entah sampai kapan.
- Untuk sementara kisah ini berakhir -
Renungan saya pada malam hari ini, disaat jari saya menari merangkai kata, saya mencoba membayangkan bagaimana kesepiannya sebuah pernikahan yang tidak dijaga keharmonisannya.
Pasangan kita bukanlah keset yang bisa diijak untuk menghapus kesal, atau seseorang yang dianggap robot yang tidak perlu belaian kasih sayang karena toh cincin pernikahan dan rumah ini adalah symbol cinta. benda maupun status bukanlah bayaran dalam cinta pernikahan, melainkan sebagai symbol untuk mengingatkan untuk selalu berkomitmen menjaga dan merawat agar cinta awet sepanjang masa. Kepedihan sang istri dapat dimengerti dan dikasihani.
Mungkin ini terkesan hanya sebuah teori dari khayalan pernikahan sedih dari seorang lajang, namun saya mencoba memikirkan apa yang dapat kita pelajari agar tidak pernah terjadi.
Pikiran dangkal saya mencoba mencerna apa yang bisa saya petik dari tulisan saya diatas.
Bayangkan setiap hari kita yang penuh kesibukan, kita memulai hari dengan ucapan doa yang sangat sebentar, seharian lamanya kita sibuk, dan pas malam tiba, kita hendak tidur dan bila teringat kita menghanturkan doa ala kadarnya karena mata tlah berat.
Tidak ada rasa syukur atas perlindungan Tuhan, berkat yang berlimpah, karunia yang menyinari hidup kita. Tidak ada keinginan untuk mempunyai keakraban seperti dulu kala.
Kita lupa memberikan yang terbaik bagi yang berhak menerimanya.
Melalui renungan ini saya berkeinginan memberikan yang terbaik kepada Tuhan dalam segala hal, bukan dari sisa waktu di keletihan melainkan memberikan waktu sebagai ucapan cinta.
beri cinta utuh, bukan cinta tersisa.
Biarlah hati kita dilembutkan dan komitmen kita menyala nyala agar dapat menjaga api cinta tetap berkobar selamanya.
salam kasih,
Tracy
5 comments:
Thank you for sharing your thoughts, sister. We are all guilty of not spending as much time as we should be. I am a mom, and I feel exhausted most of the time. My quiet time with God is almost non existence. But I know that God is the God of second chance. His mercy is new everyday. We can always try better. It's us that will reap the benefits from spending more time in words and prayers.
'Beri cinta utuh, jangan cinta tersisa' keren.
Tapi jgn luput juga untuk memperkaya diri sendiri demi memelihara cinta yg kita miliki (biar banyak, ga cepet abis). Banyak cara memperkaya diri; belajar, berkarya, membaca, banyak. Menyayangi sesama makhluk jg bisa memperkaya diri.
Ketika kita membaca secara lebih khusuk, misalnya, kita akan dapat visi yang lebih luas. Kita akan semakin terbuka trhadap kemungkinan2 yg bisa memperbaiki hidup kita.
Ketika membaca tulisan kamu, aku membayangkan kamu membayangkan kehidupan suami-istri yg terlalu lumrah yg ada di sekitar kamu. Ini yg membuat cerita yg kamu tulis terasa begitu ringan.
Pas aku mulai merasakan kesepian sang istri, aku spontan memikirkan satu hal: sesering apa pasangan ini menyalurkan cinta mereka melalui hubungan badan? Aspek ini, misalnya, akan menjadi nilai intrinsik karena seks masih menjadi topik tabu.
Untungnya cerita kamu nampaknya belum selesai, jadi semoga tulisan kamu menjadi lebih kaya dan menarik untuk dibaca. ;)
Renungan yang membangun.. Tuhan memberkatimu 😙
Please continue to write.
Love,
Tina from Madagascar
Dear Tracy
Baca blog ini dihati tuh rasanya terganggu banget. Sadar selama ini ga kasih yg terbaik buat Tuhan dan bner kata di blog ini klu tidur tuh pengen doa cepet. Thanks yakk
Post a Comment